Selasa, 23 Juni 2015

why him ?

I don't know why it hurt so much.
Maybe I was falling for him.
I shouldn't have, I feel like I got hit with a bullet.
My heart is heavy and everything hurts
I hate it all and a part of me knew this was going to happen to ever belive someone would actually care for me
A mistake
I should know better
I should get used to being alone

Senin, 29 Desember 2014

Kamu, kepergianku......

Teruntuk kamu yang selalu dan akan terus memiliki perasaan ini..
Aku tau, aku terlalu bodoh dengan mencintaimu tapi biarlah dengan cara itu aku belajar arti sebuah rasa. Rasa ketika aku bahagia hanya dengan melihatmu, Rasa ketika aku gelisah merindukanmu, dan sebuah rasa kecewa karena aku tidak pernah bisa memilikimu..

Kamu adalah sebuah alasan bagiku, setiap tanyamu kenapa aku mencintaimu yang jawabannya sudah pasti kamu. Kamu alasan untuk aku berjuang, kamu alasanku tidak takut untuk menjalani hidup yang keras didunia ini.. Sederhana itu aku mencintaimu karena ketika kamu tidak ada maka sudah tidak ada lagi alasan untuk mencintai kamu.. 
Oleh karenanya selama masih ada kamu, maka selama itu pula aku tetap mencintai kamu.
Namun sedihku adalah ketika kamu juga sebuah kesulitan bagiku, setiap tanyaku kamu dimana yang jawabannya sudah pasti tidak untukku.

Apa kamu tau ? Setiap kali aku ingin berhenti oleh keegoisanku maka hati kecilku berkata “Apa sampai sini saja perjuanganmu ?”.... Lalu aku kembali dan kamu tidak pernah ingin tau.
Apa kamu dengar ? Setiap kali aku berkata “merindukanmu” “menyayangimu”itu  membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memiliki keberanian mengucapnya. Tapi tetap aku lakukan setiap saat padamu dan sedihku karena kamu tidak pernah ingin dengar.

Aku terlalu banyak hidup di dunia khayalku, aku seakan membuat kebahagiaan tersendiri di dalam sana. Dengan berhayal aku dan kamu bahagia bersama, tertawa bersama, sedih bersama, jatuh bersama dan bangkit bersama... aku membuat itu semua di dunia khayalku tidak didunia nyataku. Aku seakan menipu diriku sendiri dengan harapan-harapan yang aku buat oleh janji yang kamu berikan. Aku pikir selama ini kamulah bahagiaku, kamulah yang memberikan senyuman itu selalu ada dibibirku tapi ternyata ini hanyalah sebuah rekayasa dari khayalan yang dibuat oleh anganku..
Mungkin kamu membaca ini, entah suatu hari nanti dan aku menulis ini dengan tidak ada lagi harapan yang tertinggal di dalam hatiku.

Kadang hidup memang tidak seindah apa yang kita harapkan. Tapi aku tetap bersyukur setidaknya Tuhan menyayangiku karena Dia memberi aku sebuah kesempatan. Kesempatan bersama kamu untuk sementara.

Kamu,
Maafkan aku yang selalu membuat kesal diwajahmu. Maafkan aku yang tidak pernah bisa dan tahu bagaimana cara menyayangimu dengan baik. Aku yang belum mampu membahagiakan kamu secara nyata dan belum bisa membuat kamu nyaman disaat melihatku, menyentuhku bahkan memelukku , aku yang tidak bisa menghapus gelisah hatimu namun aku yang selalu merepotkanmu dan aku yang selalu seperti anak kecil bersikap manja kepadamu. Maaf untuk segala ucapku yang pernah menyakiti hatimu.. Aku sudah berusaha menjadi embun dalam keluhmu, aku sudah berjuang untuk selalu bersamamu dalam keadaan apapun tidak perduli apa yang harus aku relakan demi bersama kamu namun sekarang aku kembali berjuang lagi kembali berusaha tetapi untuk melepaskan kamu dan melupakan kamu agar kamu bisa selalu bahagia dalam harimu yang selama bersamaku tidak pernah terwujud..

Kamu,
Terima kasih untuk waktu yang sudah kamu berikan kepadaku. Setiap detik yang sangat berharga untuk sekedar berbagi ceria dan cerita sama kamu.. Senang pernah bisa berada di samping kamu.

Aku hanya berharap, kamu tidak akan pernah menemukan rasa sakit. Cukup aku, cukup aku yang tau. Berbahagialah kamu dengan hari-hari indahmu seperti saat  kamu belum mengenal aku.. 

"Karena pada akhirnya yang mengerti hanya dirimu sendiri, yang bisa dimiliki hanya dirimu sendiri.. bukan dia ataupun mereka yang terlalu jahat untuk memberikan rasa sakit"

Senin, 22 Desember 2014

Maaf.....

Huruf yang tidak bermakna, kata yang tidak berarti. Tapi kamu tidak tau kekuatan apa yang dimilikinya. Kita hanya manusia kecil yang tidak luput dari kesalahan. Menyakiti, menyalahkan, menghina, menghakimi, mencaci dan memaki.
Kamu sengaja melempar batu kecil ke arah temanmu, lalu temanmu berkata : 
      “ Apa yang kamu lakukan ? Kenapa kamu melemparku dengan batu itu”
Dan kamu mengatakan ,  
      “Maaf aku hanya sedang tidak tau mau melakukan apa, maaf”
Lalu ia memaafkan mu dengan begitu semua masalahnya terselesaikan.

Hari berikutnya kalian sedang bermain bersama bercanda bergurau berlarian layaknya sebuah layang-layang yang bebas terbang di atas awan.
Tiba-tiba saja kamu menyenggol tubuh temanmu sampai ia terjatuh ke tanah, dan ia berkata : 
     “ Aduh, kamu kenapa mendorongku ?”
     “Maaf aku tidak menyangka kamu akan sampai terjatuh”
Dan kembali ia memaafkanmu.

Berkali-kali kamu melakukannya, berkali-kali juga ia memaafkanmu. Apa kamu pikir semudah itu mengucapkan kata maaf ?
Terkadang kita sudah terlalu biasa di maafkan oleh seseorang sehingga kita tidak pernah menghargai apa makna dari kata maaf itu sendiri. Apa kita pernah merenung sejenak tentang apa yang selalu kita lakukan, apa yang kita ucapkan akan menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain ? Lalu kita meminta maaf namun melakukannya kembali sampai pada akhirnya kamu kehilangan.
Kehilangan akibat sebuah kata maaf yang berkali-kali kamu abaikan. Iya, kamu abaikan karena kamu sudah terlalu terbiasa mengatakannya lalu mendapatkannya. Pernahkah kamu berfikir ketika kamu mengatakannya namun kamu ditolak, maaf mu di tolak lalu kamu ditinggal. Maafmu di abaikan bahkan dirimu juga dibuang jauh-jauh. Dan saat itulah kamu kehilangan.
Kamu kehilangan kepercayaan, kamu kehilangan sosok orang yang bersabar atas segala sikapmu. Sosok orang yang tadinya menerimamu namun sekarang berbalik menolakmu.

Kamu sudah terlalu lama bermain dengan kata maaf hingga kamu terlalu hanyut di dalamnya sehingga jika kamu selalu melakukan hal yang salah kemudian kamu akan yakin bahwa nantinya ia akan memaafkanmu dan itu tidak akan menjadi masalah. Tapi ingatlah, orang tidak akan selamanya berbaik hati kepadamu, roda tidak akan selamanya berada di atas, layang-layang tidak akan selamanya terbang di angin yang tenang dan air tidak akan selamanya mengalir ketempat yang sama ada kalanya semua itu berubah karena waktu tidak akan pernah sama.

Rabu, 22 Oktober 2014

Jika Bicara Juga Tetap Sama

Biarkan saja kita begini adanya,
sebatas bertemu saling tatap lalu berlalu pergi tanpa ucapan penuh makna..
Biarkan saja kita begini adanya,
sebatas bercakap sedetik lalu hilang ditengah hingar bingar sekitar..
Biarkan saja kita begini adanya,
saling menatap dan bercakap lalu memeluk dalam diam dan kesunyian masing-masing..
Aku sudah terlalu lelah, karena itu aku berpasrah
Sudah terlalu banyak aku berkata-kata di setiap detik dan menit kebersamaan kita
bercerita tentang semua hal sekalipun itu adalah hal terbodoh yang menurutku kamu harus tau,
Tapi cobalah lihat, apa arti sosokku di depanmu ketika aku melakukan semuanya ?
Kosong, aku seakan tidak pernah ada disana..
Kehadiranku sampai saat ini juga belum bisa diterima..
Aku bisa apa ?
Aku bukanlah pilihan untukmu, untuk itupun aku tidak akan memilih untuk memaksa ataupun meninggalkan, aku hanya akan mengambil sikap..
Jika bicara juga tetap sama, biarlah, biarkan kini aku diam..
Sampai sekarang bicaraku hanya terdengar seperti diruangan sunyi, menggema sejenak, lalu hilang..
Sudah tidak ada lagi kata yang akan bisa aku sampaikan kepada telinga yang selalu kau tutup dengan kedua tanganmu itu saat aku berbicara tentang kita..
Birlah..
Kini aku diam..
Jangan pernah salahkan sikap ini..
Aku diam meskipun harus kehilangan kebersamaan kita..
Bersama ketika candaanku menimbulkan gelak tawa di bibirmu.
Bersama ketika tanganmu bermain lembut di wajahku..
Aku hanya kehilangan waktu bersamamu, tapi aku tidak kehilangan kamu..
Setidaknya, menjadi seorang teman bagimu,
Aku masih bisa melihat gelak canda tawamu
Aku masih bisa melihat tertawa renyahmu
Aku masih bisa melihat kesalnya kamu
Mungkin yang aku tidak akan pernah bisa lakukan lagi, ialah memelukmu disaat aku merindukanmu hampir disetiap waktuku..
Tenang, jangan khawatir..
Aku akan tetap memelukmu dalam diamku
Aku akan tetap menciummu dalam diamku
Aku akan tetap mendoakan segala yang terbaik untukmu dalam tengadah kedua tangan ku dalam khusyuknya ibadah di setiap waktuku..
Jangan pernah tanyakan keadaanku, Aku akan selalu baik saja untukmu..
Semoga harimu tetap menyenangkan dan akan selalu menyenangkan ditengan kesibukanmu..
Ini jauh dari kata menjauh, ini hanyalah sebuah cara bagaimana agar aku terbiasa untuk mencintaimu dengan tulus dalam kediamanku agar tidak merepotkan dan mengganggumu lagi yang aku rasa jika bicara juga akan tetap sama :)

Rabu, 26 Maret 2014

Embun tak perlu warna untuk membuat Daun jatuh cinta.


Suara kokokan ayam itu berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Beberapa warga telah bangun dan bersiap untuk melakasanakan hari mereka. Tepat pukul 06.00 pagi seluruh aktivitas mereka dimulai dari anak-anak kecil dan remaja yang berangkat sekolah, ibu-ibu  yang berkebun, bercocok tanam sampai bekerja di pabrik dan di pasar kaget. Udara pagi ini seperti biasanya selalu sejuk, bagi mereka yang tidak beraktivitas lebih baik memutuskan untuk menarik kembali selimut mereka dan kembali melanjutkan tidur. Namun berbeda halnya dengan gadis ini, udara sejuk membuat gadis itu tak lantas ingin berdiam diri dikamarnya, iya bergegas mengambil sehelai syal yang ia ikatkan dilehernya. Cantik, sungguh cantik. Dengan baju terusan berwarna hijau muda dan syal putih dilehernya serta rambut sebahunya yang sedikit bergelombang menambah kecantikannya di pagi ini.
Ia berlari kecil menuju tempat biasa ia menikmati semuanya seakan tak mau tertinggal sedetik pun. Segala keindahan yang orang lain tidak miliki tapi ia memilikinya. Sampai di tempat tujuan, di ujung bukit itu ia memulai ritual paginya. Perlahan matanya terpejam, bibir kecilnya mulai tersenyum manis,  tangannya membentang dengan membiarkan telapak tangannya menengadah ke atas dan kepalanya sedikit mendongak. Tak perlu menunggu lama dan yang di tunggu akhirnya datang, sayup-sayup terdengar gemericik pancuran air dari sungai di bawah bukit disusul suara kicauan burung yang sedang menyanyi bak diiringi orchestra profesional  lalu yang terakhir setitik demi setitik tetesan itu mengenai tangan lembutnya yang dibiarkan menengadah, membebaskan tetesan itu bersatu dengan tangannya.
Inilah kebahagian indah yang ia miliki. Sederhana sekali, hanya menikmati suara alam paling merdu (menurutnya) dan menikmati udara serta tetesan embun sejuk sisa semalam. Betapa berharganya waktu di pagi hari untuknya. Berlangsung hanya sesaat namun ia terus melakukannya setiap pagi.
Pagi ini ia meluangkan waktu untuk sekedar duduk menunggu matahari terbit dan sedikit menghangatkan tubuhnya. Angannya tiba-tiba saja terhenti pada sebuah kesedihan yang mendalam. Rasa sakit itu seketika muncul. Janji-janji kehidupan yang pernah terucap seakan terdengar kembali berbisik mencengkram hati lalu menjatuhkannya begitu saja. Seketika bulir-bulir air itu terjatuh begitu saja melewati tulang-tulang pipi menjadi sebuah tangisan sedu tak bersuara.
Gadis itu sedang merindu. Sangat merindukannya. Dulu mereka sering duduk berdua disini melihat betapa indahnya ciptaan Sang Maha Pencipta. Menjalankan ritual pagi mereka dengan bahagia bersama. Sebenarnya ritual ini juga diajarkan olehnya.
Pertemuan mereka sangat lucu. Ketika itu ada kontes menyanyi di balai desa, semua warga antusias mengikutinya, meskipun suara mereka terdengar seperti orang kesurupan tak masalah yang penting menghibur. Hari itu hari pertama audisi.
                “Selanjutnya , Taaa..Talliisia..”
“Talyssa pak.”
“Ya, itu maksud saya. Ayo kamu selanjutnya.”
Gadis itu bernama Talyssa. Pengucapannya memang tidak serumit penulisannya, tapi kebanyakan orang selalu salah menyebut namanya. Gadis embun surga. Begitulah ia dikenal di desa itu. Pembawaannya yang sederhana, berbicaranya lembut dan senyumnya selalu menyejukan hati. Itulah yang menyebabkan ia bernama Talyssa,  berasal dari bahasa sansakerta yang artinya “embun surga”. Ia memiliki suara yang cukup bagus, terbilang di atas rata-rata dari peserta yang lainnya.

                “Kamu mau bernyanyi apa ?”
                “Ayah.”
                “Silahkan”
Gadis itu sedikit tegang, berhadapan dengan 3juri dihadapannya. Salah seorangnya memang pegawai kelurahan namun yang dua adalah orang kota yang sengaja didatangkan khusus dalam kontes ini. Setelah dipersilahkan menyanyi, ia mulai mengambil nafas dan siap bersenandung dengan nada-nada itu.

Untuk Ayah tercinta..
Aku ingin bernyanyi..
Walau air mata dipipiku..
Ayah, dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi

Gadis itu berhenti menyanyi. Seketika ruangan audisi menjadi senyap sepi. Juri pun terdiam seolah menerima pesan yang disampaikan gadis ini melalui lagunya itu. Salah seorang juri tidak sengaja menetaskan air mata lalu menyekanya dengan ujung jarinya dan bersuara untuk mempersilahkan gadis itu menunggu keputusan diluar.
Juri itu bernama, Dala. Daun hijau dari bahasa sansakerta. Dala tinggal di kota Malang. Ia adalah keponakan dari Bapak Kepala Desa.
Musik adalah hobinya. Ia menyanyi dan memainkan alat musik dengar mahir. Oleh karena itu Pak Kades memintanya untuk menjadi juri sekalian mengisi waktu liburan kuliahnya.
Lagu, Ayah tadi mengantarkan embun bertemu dengan daunnya.

Talyssa maju kebabak final dengan 7 peserta lainnya dan akan tampil di balai desa sabtu malam nanti. Sedikit gugup Talyssa bingung harus mempersiapkan lagu apa untuk penampilannya dan ketika itu, tidak sengaja Dala menghampirinya. Sejak audisi itu mereka berkenalan dan menjadi dekat. Talyssa sering mengajak Dala berjalan-jalan melihat keindahan desanya yang masih sejuk dan terbebas dari polusi.
                “Kamu sedang apa ?”
                “Bingung.”
                “Karena ?”
                “Aku tidak tau harus menyanyikan lagu apa untuk final minggu depan.”
                “Nyanyikan saja lagu yang kamu suka.”
                “Sudah aku nyanyikan saat audisi kemarin.”
                “Masa hanya itu lagu yang kamu suka ?”
                “Aku tidak banyak tau tentang lagu-lagu jaman sekarang”
                “Hahaha.. kamu ikut aku sekarang”
Tangan itu seketika menggengam tangan gadis disampingnya. Seperti setengah menarik mengajak gadis itu menaiki bukit tinggi di dekat sungai. Dala duduk di ujung bukit itu menatap kebawah meilhat pancuran air dibawah kakinya. Talyssa sedikit kebingungan, bagaimana Dala tahu tempat indah ini, padahal ia sama sekali belum menunjukannya.
                “Aku dulu sering kemari. Ketempat ini. Hanya sekedar memejamkan mata dan menghirup udara segar lalu kembali kerumah. Maksudku rumah Paman. Waktu kecil aku sering menginap di desa ini ketika liburan sekolah namun setelah Ayah ku meninggal, aku jarang kembali kemari.”
                “Ooohh..” Talyssa akhirnya mendapatkan penjelasan tanpa memintanya.
                “Liburan kemarin aku pernah mendaki gunung di daerah Malang. Kamu tahu ?”
                “Gunung Semeru. Gunung tertinggi di Jawa.”
                “Ya tepat. Pemandangan disana sangat indah. Melebihi keindahan yang ada di televisi. Kapan-kapan kamu mau ya aku ajak kesana ? Ya jangan mendaki sampai puncak. Hanya sampai danaunya saja. Kamu harus menikmati keindahan ciptaan-Nya.”
                “Heem.” Talyssa mengangguk gembira.

Entah apa yang ada didalam pikiran mereka. Mengucapkan janji-janji kebahagian dan kebersamaan yang entah kapan terlaksananya. Terlaksana atau tidak namun janji itu sudah merubah hidup keduanya. Sama-sama merasa tenang melihat keindahan alam.

Tiba-tiba, Dala mengeluarkan benda kecil dari sakunya. Sebuah mp3 mini miliknya berwarna hijau muda. Memasangkan headset itu ketelinganya dan sebelahnya lagi ia pasangkan ke telinga gadis yang kini sempurna duduk tepat disebelahnya. Tanpa protes gadis itu mengiyakan segala yang Dala perintahkan. Sanyup-sanyup mulai terdengar lagu yang di keluarkan benda mini tersebut. Dala sedikit mengencangkan volumenya lalu menaruhnya dalam pengkuan dan ritual itu ia lakukan. Menutup matanya, bibirnya tersenyum, menengadahkan tangan dan mendongak keatas. Ia seakan menikmati setiap detik lagu yang mengalun sambil melakukan kebiasaannya itu. Sedikit bersenandung ia mulai terbawa suasana dan ikut bernyanyi menyamai suara mp3 itu.

Burung-burung pun bernyanyi
Bunga pun tersenyum melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali terhibur simfoni
Pasti hidupku kan bahagia
Pasti hidupku kan bahagiaa....

Lagu itu berhenti. Dala pun berhenti bernyanyi. Membuka matanya lalu menatap gadis disampingnya.
                “Itu lagu yang harus kamu bawakan. Itu lagu kesukaanku. Karena kamu hanya memiliki satu lagu kesukaan, maka kamu bawakan saja lagu kesukaan dari salah satu juri. Siapa tau itu bisa membuat kamu menang.”  Dala tertawa.
                “Ini mp3 ku kamu bawa saja, kamu pelajari lirik dan nadanya. Semoga kamu berhasil ya.”
Senyuman Dala saat menyerahkan mp3 itu membuat embun akhirnya tahu ke daun mana ia harus meneteskan airnya dan saat itu juga membuat daun akhirnya merasakan kesejukan disirami oleh embun yang selama ini di nantinya.
Keduanya tersenyum, saling pandang tersipu satu sama lain seolah berbicara melalui senyuman itu membuat janji-janji kehidupan bersama. Janji yang tidak akan pernah menjadi nyata.

Sore itu suasana di balai desa sudah ramai sekali, mulai dari penata panggung yang mondar mandir membawa peralatannya lalu penata musik yang sedang cek sound dan beberapa orang kelurahan. Acara ini memang sudah sangat di persiapkan dengan matang oleh empunya gawe.
Malam final kontes bernyayi itu di mulai.
Juri sudah siap duduk di kursinya, bersiap untuk menilai para peserta malam ini. Pak Kades, Pak Lurah dan yang lainnya sudah rapi duduk di kursi terdepan. Setelah kata sambutan, peserta pertama pun naik ke atas panggung dan berhasil menambah kemeriahan acara malam di balai desa itu.
Peserta keempat selesai menyanyi. Di belakang panggung gadis itu diam, lebih tepatnya sedang gugup karena dia akan bernyayi di urutan kelima. Sayup-sayup suara pembawa acara terdengar memanggil namanya. Ia naik ke atas panggung.
Suara tepuk tangan meriah menyambut gadis itu. Betapa cantiknya dia malam ini. Sungguh anggun sekali dengan gaun selutut berwarna merah dan tak ketinggalan syal hitam yang melilit manis di lehernya, rambut sebahunya dibiarkan terurai begitu saja namun tetap terlihat rapi dan teratur.
Hampir seluruh penonton memang menjagokannya menjadi pemenang.
Suara nada pertama dari pemain keyboard terdengar.
Gadis itu memulai lagunya dan membius seluruh orang yang menontonnya malam itu.
Lagu yang dinyanyikan persis seperti lagu yang terdengar dari benda kecil 5hari yang lalu. Bahkan lagu itu jauh lebih indah dinyayikan oleh suara merdunya.
Dan benar saja, dia pulang dengan meraih juara pertama malam itu.

                “Selamat ya, berterima kasih sama aku karena sudah membuat kamu menang.”
                “Kamu membuat aku menang?”
                “Ah tidak-tidak bercanda. Talyssa....”
                “Em iya ?
                “Kamu cantik sekali malam ini.”
Dengan wajah tersipu gadis itu menjawab, “Ah biasa aja.”
                “Sungguh, apakah kamu mau menjadi pacarku ?”
Gadis itu mematung. Diam tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya melihat wajah seorang pria di hadapannya yang sedang menyatakan cinta.
Dengan perlahan gadis itu menganggukan kepalanya. Lagi-lagi dengan mudahnya mengiyakan segala ucapan pria dihadapannya kini. Dan satu lagi janji-janji kehidupan mulai terbentuk, janji bahagia yang berujung dengan air mata.

                “Selamat pagi, embun.” Manis sekali senyumnya mambuat Talyssa lagi-lagi tersipu.
                “Sudah siap berpetualang hari ini ?”
                “Emm siap.”
Gendengan tangan itu membuat mereka ke tujuan utama. Melakukan ritual mereka. Lalu selanjutnya ke pasar kaget membeli beberapa sayuran, kembali kerumah dan memasak bersama lalu membawa makanan yang mereka buat ke bukit dekat perkebunan teh. Menggelar sepetak tikar dan mulai makan disana sambil bersendau gurau.
Selepas mereka makan, mereka melihat hamparan perkebunan dari atas sana. Mendengar kicauan burung dan menatap senja yang sebentar lagi akan bergantikan gelap.
Tiba-tiba saja Dala menatap Talyssa lamat-lamat. Menatap tanpa berkata apapun, sesekali Dala tersenyum dan tertawa kecil hingga akhirnya Talyssa yang menyadari sedang ditatap menoleh.
                “Kamu kenapa dari tadi ngeliatin aku seperti itu ?”
                “Sejuk.”
                “Iya udaranya memang sejuk.”
                “Nyaman.”
                “Emm iya, memang nyaman sekali disini.” Gadis itu terus membalas ucapan Dala tanpa tahu maksud sebenarnya dari ucapan singkat itu.
                “Terima kasih, Tuhan.”
                “Tuhan memang baik ya, memberi kita lukisan alam seperti ini.”
                “Tuhan juga adil karena telah menciptakan embun tidak berwarna  tapi mampu memberikan kesejukan di setiap tetesannya walau ia akan hilang setelah matahari datang.”
                “Tuhan juga adil telah menciptakan hamparan alam yang hijau dengan daun-daun rimbunnya dan mengizinkan tetesan embun itu jatuh disana.”
                “Talyssa ?”
                “Iya, Dala ?”
                “Embun tak perlu warna untuk membuat daun jatuh cinta seperti Kamu yang tidak perlu berlebihan menunjukan kesempurnaanmu untuk membuat aku jatuh cinta.”
                “Terima kasih, Dala”
                “Aku besok akan kembali ke Malang, kamu tetap tidak mau ikut bersamaku ?”
Beberapa hari yang lalu, Talyssa ditawarkan untuk ikut bersama Dala ke Malang. Berkuliah dan tinggal disana. Pak Kades yang menyuruh, karena setelah ayahnya meninggal ia memutuskan berhenti sekolah dan membantu ibunya berkerbun padahal ia gadis yang cukup cerdas. Tapi ia menolak untuk ikut, karena enggan meninggalkan ibunya sendiri disini.

                “Tidak Dala. Aku tidak mau meninggalkan harta satu-satunya yang aku miliki.”
                “Kamu yakin ? Ibu kamu akan baik-baik saja disini. Ada paman dan bibi yang akan tiap hari memberikan kabar tentang ibumu.”
                “Tidak. Aku ingin melihat keadaan ibuku sendiri tanpa melalui orang lain.”
                “Apa kamu tidak akan merindukan aku ?”
                “Pasti. Aku akan sangat merindukanmu.”
                “Seandainya aku tidak kembali lagi kesini bagaimana ?”
                “Kamu pasti kembali. Kita kan akan pergi ke danau yang kamu janjikan dulu.”
                “Jika aku tidak kembali dan tidak menepati janji itu ?”
                “Aku yang akan mendatangimu, menyirammu dengan air pancuran itu dan menangis agar kamu memenuhi janjimu kepadaku.”
                “Hahaha kamu ada-ada saja. Masa iya aku disiram.”
                “Ya habis kamu tidak bisa memenuhi janjimu.”
                “Baiklah jika aku tidak kembali dan memenuhi janjiku silahkan kamu menyiramiku sesuka hatimu.”
                “ Baiklah, Aku akan terus menyirami daunku dengan segala doa dari sini dimanapun ia berada.”
                “ Aku akan selalu merindukanmu. Selalu. Jika kamu rindu aku, dengarkan saja lagu kesukaanku itu.”
                “Pasti. Kamu juga ya ?”
                “Pasti.”
Janji itu, bukit itu, senja itu, menjadi tempat terakhir kali mereka bertemu. Terakhir kali embun meneteskan kesejukannya di atas daun hijaunya sebelum daun itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Kecelakaan mobil yang di alami Dala dan temannya saat kembali ke malang tidak menyisakan bekas. Sempurna mangambil nyawa laki-laki itu. Sempurna merenggut kebahagiaan gadis tersebut. Janji kehidupan mereka belum sempat terwujud. Namun ada satu janji yang terwujud walaupun tidak seperti apa yang dibayangkan, bukanlah janji keindahan.
Dala di makamkan di desa itu karena kecelakaan terjadi tidak jauh dari sana. Oleh karena itu ibunda Dala memutuskan untuk memakamkannya disana. Gadis itu menjadi pelayat terakhir yang meninggalkan tanah merah tempat Dala sekarang berada. Ia menangis tanpa bersuara, membiarkan hanya ia yang tahu tentang sedihnya ini. Perlahan ia menguasap bilah bambu yang menancap di tanah itu.
                “Daunku, aku disini datang untuk memenuhi janji kita. Kamu tidak kembali dan tidak menepati janjimu untuk membawaku ke danau itu maka sekarang aku datang dan akan menyirammu. Aku pernah berjanji akan terus menyirami daunku dengan segala doa dimanapun ia berada. Kali ini aku meneteskan embun ku terakhir kali di tempatmu saat ini berada dan menyelipakan doaku untukmu. Tenanglah disana, bahagialah. Nanti aku akan menyusulmu untuk melihat danau yang kau janjikan dari atas sana. Berjanjilah kali ini kau menepatinya. Aku mencintaimu.”

Perlahan bulir kecil itu menetes ke tanah, menyatu dan membasahi sedikit tanah merah itu. Embun benar-benar memberikan tetesan terakhir untuk daunnya, ia melaksanakan janji mereka. Walaupun janji itu tidak seperti yang diharapkan.

Gadis itu masih diam di atas bukit sampai akhirnya ia sayup-sayup mendengarkan nada dari lagu kesukaan Dala. Ia tersenyum, itu tandanya Dala juga sedang merindukannya dari tempatnya berada sekarang.Begitu berharganya pertemuan singkat mereka, begitu indahnya janji-janji kehidupan bersama yang mereka buat walau mereka melaksanakannya dari tempat yang berebeda. Begitu besar kuasa-Nya menciptakan segala sesuatu dengan penuh perhitungan. Menciptakan sebuah kesejukan untuk dinikmati walau hanya sementara namun membekas selamanya.
Talyssa tersenyum, menutup kembali matanya menengadahkan tangan dan berucap “Terima kasih untuk setiap detik waktu yang pernah kau berikan untukku bersamanya. Jaga dia disana Tuhan, jangan sampai daunnya layu ketika aku menemuinya dan sampaikan aku disini sangat merindukannya”

Minggu, 23 Maret 2014

Hai..
Makasih banget buat kalian yang sudah iseng-iseng mampir baca coretan ini..
Mungkin aja salah satu ceritanya adalah kisah kalian ?
Tapi aku harap jawabannya gak, karena aku gak mau ada di antara kalian yang merasakan sakitnya sebuah penantian, kekecewaan, kesepian, kerinduan dan pengharapan.

Banyak yang nanya, kenapa tema blog ini lebih banyak tentang penantian.
Well, jawabannya karena bercerita bahagia itu sudah terlalu mainstream..
Semua orang berhak bahagia, setiap orang berbahagia akan melupakan suatu hal yaitu mereka lupa akan bagaimana rasanya "sakit" dan ketika mereka merasakannya, lebih sulit untuk menerimanya..
Ketika kalian merasa bahagia semua hal tentang kesakitan akan terlupakan padahal kalo dipikir-pikir bahagia itu jauh lebih sederhana dari segalanya..
Sebenarnya bahagia itu sudah terlalu sederhana untuk dilakukan dan diciptakan namun sebuah penantian bukanlah pilihan..

Dan, banyak juga yang nanya apa kisah ini nyata dan pengalaman pribadi.
Hampir semua kisah ini nyata namun tidak semuanya adalah pengalaman pribadi penulis.

Enjoy ya dengan semua coretan ini..
kalo ada kritik ataupun saran kalian bisa langsung hubungi aku di kontak yang sudah ada :)
Terima kasih sudah mau berbagi tentang "penantian"
bahagia itu sederhana namun penantian bukanlah pilihan!
Happy reading guys !


-R Annisa Anatasya-

Sabtu, 22 Maret 2014

Terima Kasih WAKTU (part II)


Warna kemerahan langit sudah hilang dengan sempurna, digantikan dengan titik-titik kecil terang yang mulai bermunculan menambah kesunyian malam ini. Udara semakin dingin, masuk hingga ketulang yang dilapisi sedikit daging dan kulit ini. Tatapan itu juga semakin dingin terasa di hati. Adjie masih diam dan terus menatapku. Tanpa memperdulikan sekeliling ia seperti perenang profesional yang terus menyelami setiap titik di mataku.

                “Faya gak mau ngomong jujur lagi ?”
                “Tadi aku udah jujur kan, aku belum mandi.”
                “Aku tau, sebenarnya bukan itu yang Faya mau bilang. Sekarang aku gak perlu nunggu Faya tinggi dulu buat bisa serius karena aku tau itu bakalan lama banget terjadinya. Hehe.. Faya tadi mau jujur apa ke Adjie ? udah siap nih.”

Wajah itu lagi-lagi dengan tenangnya berkata seperti itu. Itu adalah kata-kata terserius yang pernah Adjie ucapkan, walaupun tetap ngolokin aku sih. Mata itu semakin memberontak menagih jawaban dengan cepat.

                “Faya takut.”
                “Fay, aku gak akan berubah jadi macam hutan yang suka sama daging tipis kamu itu.”
                “Adjie kalo masih ngolok aku, aku gak akan mau ngomong.”
                “Yah anak SD banget sih. Iya deh iya.”
                “Oke, aku jujur sekarang. Mungkin udah waktu yang tepat.”

Adjie sedikitpun gak memalingkan wajahya dari wajahku.

                “Aku suka sama kamu. Aku suka cara kamu tertawa, aku suka cara kamu senyum, aku suka cara kamu jailin dan godain aku. Semakin lama yang lainnya datang. Aku sayang sama kamu. Aku sayang dengan wajah tenang kamu, aku sayang dengan wajah khawatir kamu, aku sayang dengan segala perhatian dan segala cara kamu memperlakukan aku dengan istimewa. Semakin jauh yang aku takutnya akhirnya muncul. Faya minta maaf sama Adjie, tapi aku cinta sama kamu. Aku mencintai kamu tanpa alasan apapun.”

Ya Tuhan, apa yang baru saja aku katakan ? Aku baru saja terjun dari atas tebing curam. Faya, apa yang sudah kamu lakukan ? Apa kamu baru saja mengutarakan kata cinta kepada sahabatmu sendiri dan kepada seorang lelaki yang sudah memiliki kekasih ?
Ombak bawa aku, bawa aku hanyut ke tengah lautmu sekarang juga.

                “Sejak kapan Fay ?”
                “Aku gak tau. Aku sendiri yang merasakan gak tau. Maafin aku.”
                “Maaf untuk apa ?”
                “Karena sudah mencintai kamu.”
                “Gak pernah ada kata maaf karena mencintai, Fay. Apa rasa ini sudah ada sebelum aku memutuskan kembali dengan Dila ?”
                “Sudah jauh sebelum itu.”
                “Lalu kenapa kamu diam ?”
                “Aku pernah belajar akan apa arti sebuah kata cukup dan aku memutuskan merasa cukup hanya dengan menjadi sahabat dan orang yang selalu ada di sisi kamu tanpa melalui hubungan istimewa”.

Jawaban ku membuat Adjie memalingkan wajahnya. Kembali menatap hamparan laut yang membentang tanpa ujung seperti apa yang ada dalam pikiran aji saat ini, tak berujung.

                “Fay, coba jelaskan apa maksud kamu sudah merasa cukup ? Bukannya jika kita mencintai seseorang kita harus memperjuangkannya ? seperti aku memperjuangkan Dila ?”
                “Adjie, kamu saat itu memperjuangkan Dila, lalu apa sepantasnya aku memperjuangkan seseorang yang tidak memperjuangkan aku tapi memperjuangkan seseorang bukan aku ?”
                “Aku semakin gak paham dengan apa yang kamu bicarakan Fay.”
                “ Adjie, kadang lebih indah rasanya hanya menerka dan meraba bagaimana rasanya disayangi dan dicintai orang seperti kamu. Aku sudah memutuskan untuk cukup hanya sekedar menerka tidak untuk memiliki karena aku takut kecewa jika pada akhirnya kamu tidak memilih aku dan semua khayalan istimewa aku tentang kita hilang begitu saja. Dalam banyak kesempatan jauh lebih menyenangkan mengenang sesuatu yang sepantasnya terjadi tapi kita tidak membuatnya terjadi, meski kita bisa dengan mudah membuatnya terjadi.”

Adjie kembali hanya terdiam mencoba mengartikan segala ucapan yang aku keluarkan.
Ia hanya menatap kosong. Aku bingung, kenapa tiba-tiba Adjie seolah-olah berharap dulu aku mencegah hubungannya dengan Dila kembali ? Apa yang sebenarnya terjadi ?

                “Kalo kamu dikasi kesempatan untuk merasakan dengan nyata disayangi dan dicintai oleh aku, apa kamu mau ?”
                “Aku gak mau Ji.”

Aku menjawab dengan pasti jawaban ini. Karena aku yakin jawaban ini adalah yang paling benar untuk saat ini dan esok. Namun jawaban ini membuat Adjie heran.

                “Loh, kamu sebenarnya cinta sama kau apa gak sih Fay ? Kamu mempermainkan aku ?”
                “Adjie, kamu bukan monopoli yang bisa aku mainin dan kalo beruntung dapat kartu kesempatan dari kamu. Aku sudah bilang, aku sudah merasa cukup dengan semuanya dan aku gak membuat kesempatan aku untuk bisa merasakan disayangi dan dicintai kamu menjadi nyata. Aku cukup mengharapkannya dan mengenangnya dengan istimewa.”
                “Apa kamu gak merasa sakit melihat aku sama Dila selama ini ?”
                “Hanya patung yang tidak merasakan itu Ji. Tapi aku belajar satu hal , Melepaskan pergi sesuatu atau seseorang itu memang menyakitkan, tapi ketahuilah bertahan denganya boleh jadi berkali-kali lebih menyakitkan.”

Aku sesungguhnya sudah ingin menangis mengatakan segalanya. Sekian lama aku menyaksikan kebersamaan Adjie dengan Dila, sekian lama aku hanya bisa menatap tanpa memiliki, dan sekian lama aku merasakan sakit ini sendiri berusaha berdamai dan mengenang Adjie menjadi yang terindah dan sekarang aku membuka luka lama itu kembali.

                “Aku juga belajar akan satu hal Ji, aku belajar untuk melepaskan maka hati menjadi tenang lalu aku belajar melepaskan lalu berdoa yang lebih baik kan datang.”
                “Jadi sekarang kamu mengharapkan yang lebih baik dari pada aku. Berarti kamu gak benar-benar mencintai aku Fay.”
                “ Terkadang perempuan itu lebih baik bersama orang yang menyayanginya dari pada bersama orang yang dia sayangi.”
                “Tapi aku juga sayang sama kamu Faya, bahkan.... bahkan aku juga cinta sama kamu.”
BYUUUUURRRRRR!!!

Entah dari mana langit yang tadinya cerah beribu bintang seketika menurunkan hujan di malam itu dan di pantai itu. Aku seakan membeku mendengarkan pernyataan yang baru saja di katakan Adjie. Apa yang baru saja ia katakan ? Ia mencintaiku juga ? Tidak- tidak mungkin. Lalu selama ini, dia tidak mencintai Dila ? Aku semakin tidak mengerti.

                “Maksud kamu apa Ji ? Lalu Dila ?”
                “Semenjak kepergian Dila dan aku mulai mengenal kamu lebih jauh, aku berharap kamu pengganti Dila untuk aku Fay. Aku nyaman ketika sama kamu. Aku selalu berharap waktu berhenti disitu dan membiarkan aku bersama kamu. Kamu seakan menggali tempat aku mengubur diri bersama dengan semua kenangan aku dan Dila. Tapi lama kelamaan kamu mengubur ku kembali disitu sebelum aku sempat bangkit dan berdiri di hadapanmu. Melihat hal itu aku pasrah Fay, aku diam dan akhirnya memutuskan memanggil Dila untuk menggalinya. Seandainya aku tau kamu masih sanggup menggalinya, aku akan bahagia mempertahankan kamu Fay.”
                “Kamu kurang sabar menunggu aku Ji. Karena yang ada dalam benak mu saat itu hanya Dila yang mampu, bukan aku. Sekarang semuanya sudah terjadi. Kamu telah memilih Dila dan aku sudah memutuskan untuk cukup.”
                “Tapi Fay, gak segampang itu”.
                “Ji.. waktu itu selalu berbaik hati. Serahkan saja semuanya kepada waktu.”

Hujan dan pantai itu menjadi saksi ketika keputusan itu sudah diucapkan itu tandanya pilihan itu sudah dibuat dan harus dijalankan. Kita adalah penentu hidup ini akan adil atau tidak untuk kita. Dan saat ini aku sudah merasa hidup ini adil karena memberi aku waktu untuk membuat keputusan mengungkapkan segala kejujuran tentang perasaanku. Kini aku semakin ikhlas melepasnya dan semakin yakin untuk memutuskan cukup bersamanya.
Terima kasih waktu yang selalu berbaik hati.

-The End-